Pengertian Dalihan Na Tolu Dalam Budaya Batak Toba

Dalihan Na Tolu atau jika dalam bahasa Indonesia disebut dengan “Tungku yang berkaki tiga” adalah sebuah filosofi yang dipegang erat dalam budaya Batak Toba. Sejak dari zaman leluhur batak, filosofi ini tetap dipertahankan. Jadi, apa itu pengertian dalihan na tolu dalam budaya Batak?.

Bagi sebagian anak muda Batak sekarang ini tentu akan bingung dengan istilah dalihan na tolu. Terutama bagi mereka yang tinggal dan besar di kota besar bersama dengan orang tuannya. Namun bukankah budaya itu penting dimanapun kita berada?.

Budaya yang ada di Indonesia itu sangat beraneka ragam. Wajar jika kita selalu menyebut jika Indonesia kaya akan budaya. Namun jika para generasi muda tidak memahami budaya masing – masing, maka lama kelamaan budaya ini akan hilang dengan sendirinya.

Maka dari itu, pada artikel ini kita akan membahas mengenai budaya batak, khususnya mengenai filosofi dalihan na tolu. Dengan membaca artikel ini, saya mengharapkan para generasi muda Batak akan lebih memahami budaya sendiri.

Pengertian Dalihan Na Tolu

Pada paragraf pertama diatas, saya sudah menjelaskan jika dalihan na tolu adalah “tungku yang berkaki tiga”. Ini jika kita mengartikannya ke dalam bahasa Indonesia. Sebagaimana kita mengetahui sendiri, bahwa tungku memang memiliki 3 kaki agar bisa berdiri kuat dan kokoh, serta seimbang.

Pengertian Dalihan Na Tolu bisa disebut sebagai dasar hidup masyarakat Batak Toba yang mengatur masyarakatnya dalam berhubungan dan bersikap kepada setiap elemen masyarakat suku Batak Toba dimanapun berada.

Dimanapun kita berada saat ini, kita harus tetap menggunakan filosofi ini kepada sesama suku Batak Toba. Lantas, saja isi dari dalihan na tolu yang harus dijalankan?

  1. Somba marhula – hula, artinya harus hormat kepada hula – hula (keluarga istri dan ibu).
  2. Elek maboru, artinya sikap membujuk kepada wanita semarga kita (dalam hal ini “kita” adalah laki – laki).
  3. Manat mardongan tubu, artinya berhati – hati dalam bersikap kepada teman semarga.

Dalam adat masyarakat Batak Toba memang terdapat elemen penting sebagaimana saya sudah menjelaskannya diatas, yakni Hula – Hula, Boru, dan Dongan Tubu. Lantas, siapa saja yang disebut dengan hula – hula, boru, dan dongan tubu?.

Hula – hula itu adalah semarga dengan istri dan ibu kita. Untuk lebih mudahnya saya akan memberikan salah satu contoh. Misalnya A bermarga Sihombing, dilahirkan oleh ibu br. Siregar dan istri br. Panjaitan. Jadi, semua laki – laki bermarga Siregar dan Panjaitan di dunia ini adalah hula – hula si A.

Ini berarti jika dimanapun si A menemukan marga Siregar dan marga Panjaitan, maka si A harus sopan dan hormat kepada kedua marga tersebut.

Boru – adalah wanita semarga kita (“kita” adalah laki – laki). Di atas tadi si A adalah marga Sihombing. Otomatis saudara perempuannya adalah br. Sihombing, inilah yang menjadi “boru”nya dalam adat batak.

Namun bukan hanya saudara perempuannya saja. Dimanapun di dunia ini si A menemukan br. Sihombing, maka dia harus bersikap membujuk dan tidak bisa sesuka hati kepada br. Sihombing. Mengapa?, karena dalam salah satu pengertian dalihan na tolu adalah elek marboru.

Manat Mardongan Tubu, kawan semarga kita (“kita” adalah laki – laki). Si A tadi adalah marga Sihombing. Ini saudara laki – lakinya adalah marga Sihombing. Namun bukan hanya saudara laki – lakinya saja. Dimanapun di dunia ini si A bertemu dengan marga Sihombing, maka itu adalah dongan tubu-nya.

Ini berarti jika si A harus “manat” atau hati – hati dalam bersikap kepada semua marga Sihombing di dunia ini. Hati – hati bukan berarti harus takut, melainkan bersikap baik dan menganggap semua marga Sihombing itu adalah dirinya sendiri.

Kesimpulan

Pengertian dalihan na tolu memang tidaklah terlalu susah. Namun jika kita menjabarkannya dalam semua aspek, maka tentu saja akan sangat panjang sekali. Untuk teman – teman yang sebelumnya memang sama sekali tidak tahu, wajar jika merasa susah untuk memahami penjelasan diatas.

Maka dari itu, mempelajari dalihan na tolu atau umumnya budaya Batak Toba memang akan jauh lebih baik jika dengan cara berdiskusi. Misalnya bisa berdiskusi dengan orang tua ataupun keluarga yang masih paham akan budaya Batak.

Akhir kata, saya berharap teman – teman masyarakat Batak Toba dimanapun berada tidak akan melupakan budaya suku sendiri. Dimanapun berada, akan tetap bisa mempelajari budaya selagi ada niat dan keinginan.

Tinggalkan komentar